Ibu Kota Politik 2028: Respons Ketua DPR Terhadap Penetapan Status Baru IKN – Pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur telah menjadi proyek strategis nasional yang menyita perhatian publik sejak pertama kali diumumkan. Namun, arah kebijakan terbaru yang menetapkan IKN sebagai “ibu kota politik” pada tahun 2028 memunculkan diskursus baru di kalangan elite politik dan masyarakat luas. Penetapan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menjadi salah satu tokoh yang memberikan respons terhadap kebijakan tersebut. Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara komprehensif tanggapan Ketua DPR, implikasi politik dari penetapan IKN sebagai ibu kota politik, serta bagaimana langkah-langkah strategis yang mungkin diambil oleh lembaga legislatif dalam menyikapi perubahan ini.
📜 Latar Belakang Penetapan IKN sebagai Ibu Kota Politik
Perpres Nomor 79 Tahun 2025 secara eksplisit menyebutkan bahwa IKN akan difungsikan sebagai pusat politik nasional mulai tahun 2028. Penetapan ini menandai pergeseran dari visi awal IKN sebagai kota multifungsi—yang mencakup pusat pemerintahan, ekonomi, budaya, dan inovasi—menjadi lebih terfokus pada fungsi politik dan administrasi negara.
Presiden Prabowo Subianto, yang menandatangani Perpres tersebut, menyatakan bahwa pembangunan kawasan inti pemerintahan harus selesai dalam tiga tahun ke depan. Targetnya adalah agar seluruh elemen trias politika—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—telah memiliki kantor representatif di IKN pada tahun 2028.
🗣️ Respons Ketua DPR: Menunggu Kajian Resmi
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyampaikan bahwa pihaknya belum menerima laporan resmi slot deposit 10k maupun kajian mendalam terkait penetapan IKN sebagai ibu kota politik. Dalam pernyataannya kepada media, Puan menegaskan bahwa DPR akan bersikap setelah kajian resmi disampaikan oleh pemerintah.
“Baru akan dilaporkan. Jadi saya belum mendengar dasarnya,” ujar Puan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan.
Puan juga menekankan bahwa keputusan untuk memindahkan lembaga legislatif ke IKN tidak bisa diambil secara tergesa-gesa. Menurutnya, perlu ada analisis menyeluruh terkait kesiapan infrastruktur, efisiensi anggaran, dan dampak terhadap kinerja parlemen.
“Ini saya mau lihat kajiannya dulu. Tunggu dulu, belum lihat kajiannya,” tambahnya.
🧭 Implikasi Politik dan Hukum
Penetapan IKN sebagai ibu kota politik menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah istilah “ibu kota politik” memiliki landasan hukum yang kuat? Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, tidak terdapat istilah “ibu kota politik.” Yang disebutkan adalah fungsi IKN sebagai pusat pemerintahan nasional.
Beberapa anggota DPR menyuarakan kekhawatiran bahwa penggunaan istilah baru ini dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan politik. Jika dimaknai sebagai pemindahan resmi ibu kota negara, maka harus melalui mekanisme hukum yang jelas, termasuk keputusan presiden dan persetujuan legislatif.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menyatakan bahwa pihaknya akan meminta penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri terkait dasar hukum dan substansi dari istilah “ibu kota politik.”
“Segera saja kita akan tanyakan kepada mitra kami yang paling tepat, yaitu Kemendagri,” ujar Aria.
🏗️ Kesiapan Infrastruktur dan Pemindahan Lembaga Negara
Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke IKN akan dilakukan secara bertahap, dengan jumlah antara 1.700 hingga 4.100 orang. Selain itu, pembangunan kawasan inti pemerintahan—termasuk Plaza Legislatif dan Plaza Yudikatif—ditargetkan rampung sebelum 2028.
Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa target tersebut terlalu ambisius. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Iwan Setiawan, menyebut bahwa penetapan IKN sebagai ibu kota politik menyimpang dari visi awal Presiden Joko Widodo yang mengusung konsep kota multifungsi.
“Mestinya, ibu kota negara itu terdiri dari empat fungsi sekaligus: pusat administrasi, politik, ekonomi, dan budaya. Tapi Perpres ini hanya menetapkan IKN sebagai pusat politik,” kata Iwan.
🌐 Perbandingan Internasional: Ibu Kota Ganda
Fenomena ibu kota ganda bukan hal baru di dunia internasional. Malaysia, misalnya, memiliki Kuala Lumpur sebagai pusat ekonomi dan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan. Afrika Selatan bahkan memiliki tiga ibu kota: Pretoria (eksekutif), Cape Town (legislatif), dan Bloemfontein (yudikatif).
Model ini menunjukkan bahwa pemisahan fungsi ibu kota bisa dilakukan, namun membutuhkan perencanaan matang dan dukungan politik yang kuat. Indonesia, dengan kompleksitas geografis dan birokrasi yang besar, perlu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menerapkan sistem serupa.
🧠 Perspektif Akademik dan Pakar Tata Negara
Sejumlah pakar tata negara menyarankan agar pemerintah tidak menciptakan istilah baru yang belum memiliki dasar hukum. Menurut mereka, jika yang dimaksud dengan “ibu kota politik” adalah “pusat pemerintahan,” maka sebaiknya tetap menggunakan istilah yang telah diatur dalam undang-undang.
Muhammad Khozin, anggota Komisi II DPR, menyatakan bahwa istilah “ibu kota politik” bisa membingungkan publik dan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
“Jika yang dimaksud adalah pusat pemerintahan, sebaiknya tidak perlu buat istilah baru yang menimbulkan tanya di publik,” tegas Khozin.