Tanah EV Surabaya DPR Pilih Penyelesaian Tanpa Litigasi

Tanah EV Surabaya DPR Pilih Penyelesaian Tanpa Litigasi – Sengketa lahan Eigendom Verponding (EV) di Surabaya telah lama menjadi persoalan agraria yang kompleks. Tanah EV merupakan warisan dari sistem hak kolonial Belanda, yang kemudian harus dihadapi dengan regulasi agraria modern. Dalam hukum nasional, hak EV — sebagai “hak barat” — seharusnya dikonversi menjadi hak milik sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Namun, banyak bidang tanah EV yang belum dikonversi secara resmi atau belum memiliki kepastian kepemilikan melalui sistem slot resmi terpercaya pendaftaran tanah nasional.

Permasalahan di Surabaya mencakup klaim warga terhadap tanah yang kini diklaim sebagai aset perusahaan plat merah, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas hak rakyat yang selama ini menempati lahan tersebut.

Pernyataan Adies Kadir: Fokus pada Mekanisme Administratif

Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, menyatakan bahwa penyelesaian sengketa EV Surabaya tidak akan ditempuh lewat jalur pengadilan (litigasi), melainkan melalui mekanisme administratif.

Menurut Adies, pendekatan administratif menawarkan sejumlah keuntungan: lebih cepat, lebih sederhana, dan tidak membebani warga. Ia menegaskan bahwa semua proses akan tetap berada dalam kerangka hukum, namun tanpa harus melalui persidangan yang panjang dan rumit.

Sinkronisasi Berbagai Pihak

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR, Adies memimpin pertemuan antara Komisi II dan Komisi VI DPR bersama Pemkot Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Kementerian ATR/BPN, dan Pertamina — perusahaan yang dikabarkan menguasai sebagian lahan EV.

Pertamina sendiri menyatakan komitmen untuk membuka seluruh proses administratif dan bersinergi penuh dengan ATR/BPN, DPR, dan pemangku kepentingan lain. Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, optimistis bahwa sinergi antar spaceman slot lembaga ini akan menghasilkan solusi konkret bagi warga.

Manfaat dan Risiko Pilihan Administratif

Keuntungan

  • Efisiensi waktu: Proses administratif lebih cepat dibanding peradilan, sehingga warga bisa memperoleh kepastian hak lebih cepat.
  • Biaya lebih rendah: Menghindari biaya pengadilan yang besar dan proses persidangan.
  • Akses yang lebih mudah bagi warga: Sistem administrasi bisa lebih ramah bagi masyarakat kecil yang selama ini kesulitan mengakses litigasi.

Risiko & Tantangan

  • Kepastian hukum rendah: Jika proses administratif tidak transparan atau tidak diawasi dengan baik, ada risiko hak warga jadi kurang terlindungi.
  • Potensi penyalahgunaan: Pihak berkepentingan, seperti korporasi, bisa memanfaatkan proses non-litigasi untuk mengamankan lahan.
  • Kebutuhan harmonisasi regulasi: Karena EV adalah warisan kolonial, harus ada pemahaman yang baik tentang konversi hak, keabsahan bukti kepemilikan, dan pengakuan dari BPN. Dalam penelitian hukum, disebutkan bahwa meskipun konversi EV menjadi hak milik sudah diatur, banyak bidang belum terdaftar secara resmi.

Relevansi Hukum Agraria

Secara yuridis, hak Eigendom Verponding masih memiliki kekuatan pembuktian di mata hukum Indonesia. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa surat keterangan dari pejabat kecamatan atau kelurahan bisa menjadi “alas hak” yang sah untuk mengajukan permohonan hak atas tanah kepada BPN.

Transformasi dari hak EV ke hak milik (misalnya SHM) memang diatur dalam konversi UUPA, tetapi tidak semua bidang tanah EV telah menjalani konversi. Oleh karena itu, mekanisme administratif menjadi jalan strategis untuk memberikan kepastian bagi pemilik lama sekaligus warga yang mengklaim hak atas tanah.

Kesimpulan

Pernyataan Adies Kadir mencerminkan komitmen legislatif untuk menyelesaikan sengketa tanah EV di Surabaya dengan cara yang adil dan efisien. Jalan administratif dipilih karena menawarkan kecepatan dan kepraktisan, serta diharapkan bisa mengembalikan hak warga tanpa beban litigasi yang berat. Namun, agar mekanisme ini berhasil, perlu pengawalan ketat dari berbagai pihak, transparansi proses, serta sinkronisasi dengan regulasi agraria nasional.